Allah I memerintahkan agar kita – segenap kaum Muslimin – beradab yang baik dengan tetangga kita, sebagaimana Allah I perintahkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua (ibu dan bapak), karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.” (an-Nisa' : 36). bagaimanakah adab bertetangga yang benar menurut syariat Islam? Mari kita kaji dalam buletin edisi kali ini, dengan memohon pertolongan dari Allah I.

Siapakah tetangga?
Tetangga” adalah orang yang dekat tinggalnya dengan rumah kamu; telah datang sebagian atsar yang menjelaskan bahwa tetangga adalah 40 rumah dihitung dari semua sisi dari rumahmu.
Tentu tak diragukan lagi bahwa yang berdekatan dengan rumahmu itulah tetanggamu; jika atsar tersebut benar dari Rasulullah r maka itu adalah sebuah kebenaran, namun jika tidak maka kita kembalikan kepada urf (adat), jika adat manusia menyatakan itu tetangga maka itu adalah tetangga.
Telah berkata para ulama dalam pembagian tetangga :
  1. Tetangga, kerabat, dan dia seorang muslim, maka dia memiliki hak tetangga, kerabat, dan hak seorang muslim.
  2. Tetangga, muslim namun bukan kerabat, maka dia memiliki hak tetangga dan Islam.
  3. Tetangga kafir, maka dia hanya memiliki hak bertetangga saja. Namun jika dia kerabat maka dia juga memiliki hak kekerabatan juga.
Maka mereka semua yang tersebut di atas memiliki hak-hak yang harus ditunaikan. (Syarah Riyadhush Shalihin 2/145 Syaikh Utsaimin)

Kewajiban memuliakan tetangga
Rasulullah bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia memuliakan tetangganya.” (HR al-Bukhari : 5589, Muslim : 70)
Hal ini menunjukkan akan pentingnya berakhlak dan bertingkah laku yang baik dengan tetangga, bagaimana sikap seseorang dengan tetangganya maka hal itu menunjukkan akan sempurna atau tidaknya keimanannya.

Larangan berbuat buruk terhadap tetangga
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah, betapa sering kita mendengar percekcokan antar tetangga, permusuhan, yang kemudian terwujud dalam ucapan, sikap dan perbuatan, adu mulut, perkelahian, bahkan sampai pada tingkat yang saling membunuh! Entah pendorongnya anak, istri, suami, atau kendaraan, tumbuhan, dll. Yang jelas, hal itu dilarang didalam agama Islam. Perhatikanlah sabda Rasulullah r :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak akan masuk surga siapa saja yang tetangganya tidak aman
dari gangguannya.” (HR Muslim : 46)
Bahkan di dalam riwayat Imam al-Bukhari rohimahullah (No. 6016), Rasulullah menyatakan dan bersumpah tiga kali. “Demi Allah, dia tidak beriman!” (3 kali). Berkata para sahabat y, “Siapa, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.”
Bahwasanya orang yang senantiasa mengganggu tetangganya maka keimanannya tidak sempurna. Maka perhatikanlah hal ini, wahai saudaraku seiman, terkadang seorang tetangga berkata ini dan itu atau berbuat ini dan itu yang dia sangka tidak mengganggu tetangganya, namun ternyata tetangganya menangis, bersedih atas ucapan dan tingkah lakunya yang mengganggu dan menyakitkan.

Anjuran untuk saling memberi hadiah
Islam adalah agama yang indah. Tatkala Islam melarang dari menyakiti dan mengganggu tetangga, maka Islam menganjurkan untuk saling memberi hadiah, yang akan mendatangkan saling mencintai karena Allah I. Rasulullah r telah menganjurkan hal tersebut, sebagaimana sabda-Nya :
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
Wahai Abu Dzar! Jika engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, dan hadiahkanlah kepada tetanggamu.” (HR Muslim : 2625)
Maka hendaklah kita bersegera mengamalkan hadits yang mulia ini, saling memberi di antara tetangga akan mendatangkan kemaslahatan yang banyak dengan izin Allah, bukan hanya terhadap sayur saja, melainkan juga makanan-makanan yang kering dan selainnya.
Begitu pula sabda Rasulullah r tahaaduu takhaabuu – artinya : “Saling memberi hadiahlah di antara kalian, maka hal itu akan menumbuhkan cinta kasih di antara kalian.” (Dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rohimahullah dalam Irwa'al-Ghalil bab al-Hibah 1601, al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 594, dll.)

Tetangga baik merupakan kebahagiaan bagi tetangga yang lain
Bagaimana tidak, ketika kita ingin diperlakukan baik oleh tetangga kita, maka kita harus berbuat baik pula dengan tetangga kita. Kenapa harus demikian, wahai saudaraku seiman? Karena itu sebuah kelaziman. Karena kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula, sebagaimana firman Allah I:
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ﴿٦٠﴾
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (QS. Ar-Rahman : 60)
Begitu pula apa yang disabdakan oleh Rasulullah r (yang artinya), “Empat perkara termasuk unsur kebahagiaan (seseorang) : istri shalihah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik (tingkah lakunya), dan kendaraan yang nyaman.” (Silsilatush Shahihah 282)
Sudah seharusnya kita mencari tetangga yang baik akhlak dan tingkah lakunya karena ini merupakan unsur kebahagiaan seseorang. Lebih dari itu, kita pun harus menjadi tetangga yang baik bagi para tetangga kita. Sebaliknya, tetangga yang buruk akhlak dan tingkah lakunya akan menjadi kemalangan bagi tetangganya.

Bersabar terhadap gangguan tetangga
Bertetangga tidak selamanya manis dan baik. Terkadang sikap dan akhlak tetangga membuat sakit tetangga yang lain. Bagaimanakah sikap yang harus dilakukan tatkala hal itu menimpa seseorang? Hendaklah dia berusaha bersabar, senantiasa untuk menasihatinya dan mendo'akan kebaikan baginya, mendapatkan hidayah dari Allah I, sehingga dia tidak menyakiti lagi. Rasulullah r bersabda (yang artinya), “Ada tiga golongan yang dicintai Allah : (salah satunya adalah) seseorang yang selalu disakiti oleh tetangganya, namun dia senantiasa bersabar menghadapi gangguannya tersebut hingga kematian atau perpisahan memisahkan keduanya.” (HR Ahmad : 21530, shahih menurut syarat Muslim, tetapi Muslim tidak meriwayatkannya, al-Mustadrak 2/98)

Di antara sebab-sebab retaknya hubungan bertetangga
Sudah menjadi hal yang perlu diperhatikan, baiknya hubungan bertetangga, karena itulah yang diperhatikan oleh Allah I dan rasul-Nya. Untuk itu, kita harus mengetahui sebab-sebab retaknya hubungan bertetangga agar kita berhati-hati dan menjauhinya serta tidak terjerumus ke dalamnya. Beberapa hal yang kerap memicu retaknya bertetangga :
  1. sering mengganggu tetangga
    Mengganggu bisa dengan tingkah laku maupun ucapan. Hal ini sebagaimana di tegaskan oleh Rasulullah r, “Tidak akan masuk surga siapa saja yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR Muslim : 46)
  2. Kurang empati dengan tetangga
    Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin dia tidak butuh pada orang lain. Di antara hal yang memicu retaknya bertetangga adalah tidak peduli dengan tetangga. Ketika mereka butuh bantuan dari tetangganya, tetangganya tak peduli (egois/cuek). Maka dari itu, hendaknya kita peduli dan empati kepada tetangga agar tidak terjadi retaknya bertetangga. Rasulullah r bersabda, “Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Barang siapa mengangkat kesusahan seorang muslim, maka Allah akan mengangkat darinya kesulitan yang ada pada hari kiamat.” (Shahih Targhib wat Tarhib 2333)
  3. Menyebarkan aib tetangga
    Tak satu pun manusia yang menginginkan aibnya diobral. Maka dari itu, hendaknya kita menutup aib orang lain agar Allah menutup aib kita (lihat HR Muslim : 2699).
  4. Perkataan yang buruk
    Sebagaimana sabda Rasulullah r, “... Tidak ada kebaikan padanya, dia itu penghuni neraka, yaitu wanita yang menyakiti tetangganya dengan lisannya.” (Lihat ash-Shahihah 190)
  5. Buruk akhlak
    Hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad r, “... Empat perkara termasuk kemalangan seseorang : istri yang buruk (akhlaknya), tetangga yang buruk (akhlaknya) ...” (Silsilatush Shahihah 282)
    Dan lain-lain.

Penutup
Dari sekelumit uraian di atas, maka wajib bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga hak-hak bertetangga yang wajib kita tunaikan, wajib bagi kita berbuat baik dengannya sebisa mungkin. Serta haram menyakiti, meremehkan, bermusuhan, dan mengganggu tetangga kita, siapa pun tetangga kita; kaya, pejabat, terhormat, atau miskin, rakyat jelata. Semuanya harus mendapatkan kebaikan dari kita, karena itulah yang diperintahkan oleh Allah I dan Rasulnya.

Allahu A'lam.
Penulis: Abu Rima
Sumber: Buletin Dakwah Islam AL Furqon Tahun ke-10 Volume 1 Nomor 4


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

MULIA DENGAN TA'ARUF DAN NAZHAR
Ta'aruf adalah proses untuk saling mengenal antara dua insan berlainan jenis yang sudah berazam untuk menikah. Sifat, karakter (watak), dan kepribadian calon pasangan akan menjadi jelas setelah ta'aruf. Di dalam ta'aruf, ada etika yang harus di perhatikan, seperti tidak boleh berdua-duaan, harus dengan mahram, dan sebagainya.
Sesudah ta'aruf, agar lebih mantap dalam melangkah (menuju pernikahan), ada kegiatan nazhar. Nazhar ialah saling melihat calon pasangan (yang akan dinikahi)nya. Ada kalanya nazhar dilakukan bersamaan dengan ta'aruf. Tentang nazhar, sangat banyak dalil yang mengajurkannya; di antaranya :
  1. Diriwayatkan bahwa Sahabat al-Mughirah t akan meminang seorang wanita, maka Nabi r berkata kepadanya :

اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَْن يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah calon istrimu karena hal itu akan lebih melanggengkan hubungan kalian berdua.”1
  1. Pada suatu hari, ada seorang laki-laki datang memberi tahu Rasulullah r bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita Anshar. Lalu Nabi r bertanya kepadanya, “Sudahkah engkau melihatnya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Maka Nabi r bersabda :
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا
Pergi dan lihatlah, karena sesungguhnya pada mata kaum Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim : 1427)

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Di dalam hadits ini, ada anjuran untuk melihat wajah calon yang akan dinikahi. Inilah madzhab kami, Malik, Abu Hanifah dan seluruh Kufiyyin, Ahmad, dan jumhur ulama. Al-Imam al-Qadhi menceritakan bahwa ada sekelompok orang yang membencinya, ini ini adalah kesalahan yang menyelisihi kejelasan hadits ini.” (Syarah Shahih Muslim 9/210)

Itulah jalan mulia sebelum pernikahan, ta'aruf secara syar'i dan nazhar, bukan pacara yang tujuannya hanya melampiaskan kepuasan syahwat! Jalan menuju pernikahan bukan dengan bergandengan tangan, saling memandang, bahkan sampai yang lebih parah dari itu!!

RENUNGAN SEPUTAR PACARAN
Untuk menentukan status “berpacaran” di dalam hukum Islam, mari kita renungkan beberapa hal berikut ini :
Pertama : Islam menutup segala sarana menuju zina
Allah I berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴿٣٢﴾
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina merupakan suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS. Al-Isra' [17] : 32)

Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah melarang para hamba-Nya dari perbuatan zina dan dari 'mendekatinya', maksudnya berinteraksi dengan sebab-sebab yang bisa mendorong perbuatan zina. Sebab, zina adalah perbuatan dosa besar dan jalan yang jelek.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/72)
Maka, segala sarana dan perbuatan yang bisa menghantarkan kepada perbuatan zina dilarang keras oleh Islam. Misalnya berpacaran, berdua-duaan dengan ipar, atau bergandengan tangan dengan sepupu. Segala perbuatan tersebut jelas haram karena mereka semua – pacar, ipar, dan sepupu – bukan mahram!! Janganlah kita meremehkan hal ini karena bisa jadi perbuatan yang dianggap biasa (lazim), ternyata dihukumi haram menurut syari'at Islam. Perhatikan hadits berikut ini :

Rasulullah r bersabda :
Telah ditulis bagi anak Adam, baginya dari zina. Dia pasti mendapatinya, tidak mustahil. Kedua mata, zinanya adalah melihat. Kedua telingan, zinanya adalah mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah menyentuh. Kaki, zinanya adalah melangkah. Hati berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan-lah yang akhirnya membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari : 6243, Muslim : 2657)
Al-Imam Ibnu Baththal berkata : “Nabi r menamakan 'melihat dan berbicara' dengan zina karena keduanya bisa mendorong pada perbuatan zina yang sebenarnya. Oleh karena itu, Nabi r mengatakan 'dan kemaluan itu yang membenarkan atau mendustakannya'.” (Fathul Bari 11/28)

Kedua : Islam melarang menyentuh tubuh lawan jenis yang bukan mahram

Selama akad nikah belum terucap, haram bagi dua insan berlainan jenis yang bukan mahram untuk bergandengan tangan atau saling menyentuh. Orang yang berpacaran tidak lepas dari hal itu. Pada umumnya, orang berpacaran akan berjabat tangan, bergandengan, atau berpegangan dengan kekasihnya(!!). Ketahuilah, nabi kita Muhammad tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya. Beliau bersabda :

إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لـِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita 'asing' (bukan mahram). Sesungguhnya ucapanku kepada seratus wanita sama/semisal dengan kepada seorang wanita saja.”2

Bahkan istri beliau, Aisyah bersumpah, “Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah r menyentuh tangan wanita ketika bai'at.” (HR al-Bukhari : 4891, Muslim : 1866)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sumpah Aisyah ialah untuk menguatkan berita yang beliau ceritakan.” (Fathul Bari 8/505)
Al-Imam al-Iraqi berkata, “Apabila beliau saja tidak berjabat tangan dengan wanita padahal tidak ada keraguan dan terjaga, maka selain beliau lebih utama untuk tidak berjabat tangan dengan wanita.” (Tharhu at-Tatsrib 7/44)
Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Sabda Nabi r 'aku tidak menjabat tangan wanita' adalah dalil bahwasanya tidak boleh seorang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang tidak halal baginya.” (at-Tamhid 5/44)

Ketiga : Islam melarang khalwat
Khalwat adalah berdua-duaan dengan lawan jenis yang tidak halal. Orang yang berpacaran, umumnya menyepi dan berdua-duaan, bahkan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan! Khalwat antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram termasuk perbuatan dosa dan sarana paling besar menuju perbuatan haram. Bahkan Rasulullah r telah menegaskan keharaman khalwat dalam hadits-hadits yang sangat banyak, di antaranya :
  1. Hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas y bahwasanya Rasulullah r bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali (apabila wanita tersebut) bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari : 3006, Muslim : 1341)
Al-Imam Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini berisi penjelasan bahwasanya seorang wanita dilarang berdua-duaan dengan seorang laki-laki tanpa bersama mahramnya baik ketika safar (perjalanan) maupun tidak.” (Shahih Ibnu Hibban 8/149)
  1. Hadits yang bersumber dari 'Uqbah bin 'Amir bahwasanya Rasulullah r bersabda :

Hindarkanlah diri kalian dari masuk kepada wanita.” Kemudian ada seorang Sahabat Anshar yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapat Tuan dengan saudara ipar?” Rasulullah menjawab, “Saudara ipar adalah kematian.” (HR al-Bukhari : 9330, Muslim 5/16)
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya khalwat dengan wanita asing dan bolehnya khalwat jika (wanita tersebut) bersama mahramnya. Dua perkara ini telah disepakati oleh para ulama.” (Syarah Shahih Muslim 5/16)

Keempat : Islam memerintahkan agar kita menundukkan pandangan
Anggaplah bahwa orang yang berpacaran selamat dari khalwat atau tidak bergandengan tangan, tetapi apakah orang yang berpacaran bisa selama dari saling memandang? Padahal Allah I telah memerintahkan kita agar menundukkan pandangan! Allah I berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴿٣٠﴾وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya . . . (QS an-Nur [24] : 30 – 31)

Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah perintah Allah kepada para hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari perkara-perkara yang haram mereka lihat. Maka janganlah mereka melihat selain apa yang dibolehkan bagi mereka. Apabila tanpa sengaja melihat sesuatu yang haram maka hendaknya dia segera memalingkan pandangannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/282)
Rasulullah r bersabda :

ايّاكم والجلوس في الطرقات, قالوا : يا رسول الله ما لنا من مجالسنا بدّ نتحدّث فيها, ققال رسول الله ص.م : فاذا ابيتم الاّ المجلس فاعطوا الطّريق حقّه, قالوا : وما حقّ الطّريق يا رسول الله ؟ قال : غضّ البصر, وكفّ الاذي, وردّ السّلام, والامر بالمعروف, والنّهي عن المنكر
Hindarkanlah diri kalian dari duduk-duduk di pinggir jalan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidaklah kami duduk-duduk melainkan sekadar untuk berbincang-bincang.” Maka Rasulullah r mengatakan, “Apabila kalian tetap ingin duduk-duduk di pinggir jalan maka berikanlah jalan itu haknya.” Para sahabat bertanya kembali, “Apa haknya, wahai Rasulullah?” Rasulullah r menjawab, “Menundukkan pandangan, tidak menggangu, menjawab salam, dan amar makruf nahi mungkar.” (HR al-Bukhari : 2333, Muslim : 2121)

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata, “Pandangan adalah asal segala bencana yang menimpa manusia. Bermula dari pandangan, lahirlah keinginan. Dan keinginan akan melahirkan pemikiran. Dari pemikiran, akan lahirlah syahwat (hawa nafsu). Pada akhirnya, syahwat itu akan mendorong menjadi hasrat yang sangat kuat hingga terjadi apa yang dia inginkan.” (al-Jawabul Kafi hlm. 79)
Setelah kita bisa memahami empat perkara di atas, masih beranikah kita berpacaran? Atau bahkan melegalkan pacaran dengan berbagai macam dalih? Bertaqwalah, wahai para hamba yang beriman!!
Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, “Pacaran yang haram 'kan pacaran yang melanggar etika dan rambu islam. Sekarang kami ingin 'pacara secara islami'. Apakah tetap tidak boleh?”
Kita katakan : Apa maksudnya 'pacaran secara islami'? Jika maksudnya adalah pacaran islami setelah menikah maka hal ini boleh, tidak ada kesamaran padanya. Akan tetapi, jika maksudnya adalah tetap berhubungan dengan kekasih namun modelnya lebih 'islami', seperti hubungan hanya lewat telepon atau Facebook, atau bertemu dengan kekasih tetapi disertai teman, atau model lainnya, maka hukumnya pun tetap haram! Sebab, suatu nama yang disandarkan kepada Islam pasti diajarkan dalam Islam atau ada sandarannya dalam Islam, dan ini tidak dijumpai dalam pacaran!! Di samping itu, siapa yang bisa menjaga hati kita untuk tidak teringat 'si dia'? Siapa yang bisa menjami bahwasanya kita aman ketika mendengar suaranya, apalagi kalau sampai memandang wajahnya!! Allahul Musta'an.
Allahu A'lam.
----------------------------------------------------------------------------------
1 HR at-Tirmidzi : 1087, an-Nasa'i : 3235, Ibnu Majah : 1866, Ahmad 4/144, ad-Darimi : 2/134; lihat ash-Shahihah No. 96.
2 HR an-Nasa'i : 4192, Ahmad 6/357, Malik 2/982. Shahih; lihat ash-Shahihah No. 529 oleh al-Albani.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 157 Tahun Ke-14 Halaman 76-79


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Semakin jauh sebuah generasi dengan zaman Rasulullah r, semakin buruk kondisi mereka. Contohnya, sebagian pemuda muslim berpakaian dengan pakaian yang tidak bisa dibedakan antara orang Islam dan kafir, ditambah gaya rambut paling mutakhir, bahkan dihiasi dengan perhiasan seperti kalung dan cincin terbuat dari emas. Di samping itu, ada yang mengenakan cincin tunangan meniru tunangan gaya orang kafir, sebagaimana tidak dimungkiri adanya orang yang memakai cincin untuk tolak bala dan semisalnya. Marilah sejenak kita membahas hal-hal berkaitan dengan cincin menurut perspektif Islam, supaya kita tidak jatuh pada kesalahan, sedangkan kita tidak menyadarinya.

HUKUM MEMAKAI CINCIN
Para wanita tidak dilarang memakai cincin dari jenis apa pun baik dari emas, perak, atau selain keduanya. Bahkan jika dimaksudkan untuk berhias buat suaminya, maka itu dianjurkan di dalam Islam.
Adapun bagi kaum laki-laki, para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai cincin bagi mereka.1
Pendapat pertama mengatakan sunnah. Alasannya, karena dahulu para sahabat Nabi r mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah r tatkala beliau memakai cincin, sebagaimana di dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar y berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَجَعَلَ فُصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ فَاتَّخَذَهُ النَّاسُ فَرَمَى بِهِ وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ أَوْ فِضَّةٍ
Rasulullah r memakai sebuah cincin dari emas, beliau menjadikan mata cincinnya (di dalam) mendekati telapak tangannya, lalu manusia pun memakai cincin, kemudian Rasulullah r melemparkan cincin (emas)nya dan memakai cincin dari perak.” (HR al-Bukhari : 5865)
Pendapat Kedua mengatakan bahwa memakai cincin bagi laki-laki boleh-boleh saja, dan menjadi sunnah jika ada kebutuhan; contohnya untuk stempel bagi para tokoh seperti seorang raja, hakim, dan semisal mereka. Pendapat ini didasari oleh kenyataan bahwa Nabi r tidak memakai cincin, kecuali setelah dikabarkan bahwa para raja tidak menggubris surat yang tidak ada stempelnya2 Di dalam sebuah hadits, Anas ibn Malik t berkata :
لما أراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يكتب إلى الروم قيل له إنهم لن يقرءوا كتابك إذا لم يكن مختوما فاتخذ خاتما من فضة ونقشه محمد رسول الله
Tatkala Rasulullah r hendak menulis surat ke Romawi, (manusia) berkata, 'Sesungguhnya mereka (para raja) tidak akan membaca surat selain yang berstempel.' Lalu Rasulullah r memakai cincin dari perak. Sepertinya aku melihat warna putih (perak) itu di tangan Rasulullah r dan mata (cincin) itu tertulis 'Muhammad Rasulullah'.” (HR al-Bukhari : 65, Muslim : 5601)
Pendapat yang kuat, insya Allah adalah pendapat kedua, yaitu dibolehkan memakai cincin bagi kaum laki-laki, dan disunnahkan bagi para tokoh yang membutuhkannya; seperti untuk stempel bagi para raja, hakim dan semisalnya. Pendapat ini dikuatkan beberapa perkara, diantaranya :
  • Rasulullah r kebiasaannya tidak memakai cincin kecuali untuk stempel surat-suratnya.
  • Rasulullah r tidak memakai cincin dengan maksud berhias, dan ini dibuktikan dengan kondisi beliau meletakkan mata cincin yang ada ukiran namanya di bagian dalam telapak tangannya, tidak ditampakkan seperti kebanyakan orang yang memakai cincin untuk perhiasan.
  • Adapun sikap para sahabat y yang memakai cincin sebagaimana Nabi r memakai cincin, maka ini menunjukkan betapa semangatnya para sahabat Nabi untuk mencontoh dan tidak ingin ketinggalan terhadap apa pun yang dilakukan Nabi r.
    Kesimpulannya, disunnahkan memakai cincin bagi orang yang membutuhkannya seperti untuk stempel. Akan tetapi, hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi seseorang memakai cincin dengan maksud berhias dengannya karena hal itu tidak dilarang.3

BOLEH MEMAKAI CINCIN DI TANGAN KIRI, TETAPI DI TANGAN KANAN LEBIH UTAMA
Dibolehkan memakai cincin baik di tangan kanan atau di tangan kiri.
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Adapun memakai cincin di tangan kanan atau di tangan kiri, maka telah datang dua hadits di dalam perkara ini dan semuanya shahih.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 14/71)4 Hadits yang dimaksud adalah dari Anas ibn Malik t beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ
Sesungguhnya Rasulullah r pernah memakai cincin perak di tangan kanannya.” (HR Muslim : 5608)
Anas ibn Malik t juga berkata di dalam hadits lain :
كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلىَ الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى
Rasulullah r memakai cincinnya di sini.” Beliau mengisyaratkan ke jari kelingking di tangan kirinya. (HR Muslim : 5610)
Adapun tangan manakah yang lebih utama untuk dipakaikan cincin, terdapat perbedaan pendapat seperti yang dijelaskan al-Imam an-Nawawi, beliau berkata, “Para ulama fiqih sepakat atas bolehnya memakai cincin baik di tangan kanan atau kiri, tidak dimakruhkan pada keduanya, meskipun mereka berbeda pendapat di tangan mana yang lebih utama. Kebanyakan para ulama salaf (yang memakai cincin), mereka memakainya di tangan kanan, dengan alasan cincin itu adalah perhiasan (yang baik) dan tangan kanan lebih berhak diberi perhiasan (yang baik), dan lebih berhak dimuliakan.” (Syarh Shahih Muslim 14/299)5
Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa perkara, di antaranya :
  • Rasulullah r pernah memakai cincin di tangan kiri dan tangan kanan, tetapi di tangan kanan lebih sering, seperti dikatakan oleh Abu Zur'ah.
  • Tangan kanan lebih patut dimuliakan dan diberi suatu (perhiasan) yang baik. Berbeda dengan tangan kiri, maka tangan kiri adalah alat untuk bercebok, dan jika cincin berada di tangan kiri, pasti akan terkena kotoran dan najis.
  • Al-Imam al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya hadits Abdullah ibn Ja'far adalah hadits yang paling shahih di dalam bab ini, dan hadits tersebut adalah (menerangkan bahwa Rasulullah r) memakai cincin di tangan kanan. “Al-Imam Bukhari dan Muslim mengeluarkan sebuah hadits dari Aisyah rodhiallahu'anha (yang artinya), “Adalah Rasulullah r lebih menyukai untuk mendahulukan yang kanan, baik pada saat memakai sandal, bersisir, bersuci, dan di dalam segala urusannya.” (HR al-Bukhari 10/402)

MATA CINCIN BOLEH BERADA DI ATAS/LUAR, DAN LEBIH UTAMA BERADA DI DALAM
Di dalam hadits Ibnu Umar y (HR al-Bukhari : 5865) di atas, ditunjukkan bahwa Nabi r memakai cincin, dan mata cincinnya diletakkan di dalam tangannya (mendekati telapak tangannya) tidak diperlihatkan. Perbuatan Nabi r ini bukan menunjukkan hukum wajib, melainkan menjelaskan perbolehannya; boleh diletakkan di atas/ diperlihatkan, atau boleh juga diletakkan di dalam mendekati telapak tangan, dan inilah yang dilakukan Nabi r.
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Meletakkan mata cincin di bagian dalam (dekat dengan telapak tangan) lebih utama karena mengikuti Rasulullah r, (alasan lain) hal ini lebih memelihara cincin (dari kerusakan) karena jika mata cincin di atas, pasti akan mudah tergores, demikian pula (meletakkan mata cincin di bawah) lebih menjaga pemiliknya dari sifat berbangga diri dan bermegah-megahan, karena sudah menjadi kenyataan bagi sebagian orang sekarang, (mereka) sebentar-sebentar melihat cincinnya dalam keadaan berbangga diri terhadap cincin di tangannya, padahal sunnahnya (meletakkan mata cincin) itu bukan seperti (apa yang mereka lakukan) sekarang.” (Lihat Syarh Shahih Muslim Iin Nawawi : 3900 dan Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud : 3684.)

LARANGAN MEMAKAI CINCIN PADA JARI TENGAH DAN TELUNJUK BAGI LAKI-LAKI
Para ulama sepakat bahwa khusus kaum laki-laki dilarang memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk sebagaimana dalam sebuah hadits dari Ali ibn Abi Thalib t beliau berkata :
نَهَانِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي أُصْبُعَيَّ هَذِهِ أَوْ هَذِهِ قَال : فأومأ إلى الوسطى والتي تليها
Rasulullah r melarang aku memakai cincin di dua jari, yaitu di jari tengah dan jari yang dekat dengannya (jari telunjuk).” (HR Muslim : 5614)
Al-Imam an-Nawawi rohimahullah berkata, “Para (ulama) kaum Muslimin bersepakat bahwa disunnahkan memakai cincin di jari kelingking bagi laki-laki. Adapun wanita, maka tidak terlarang bagi mereka memakai cincin di jari-jari mana pun. (Para ulama) mengatakan bahwa hikmah memakai cincin di kelingking adalah supaya tidak mudah terkotori ketika seseorang menggunakan tangannya (untuk bekerja), karena jari kelingking letaknya di ujung, dan jari kelingking biasanya tidak mengganggu tangan ketika bekerja; berbeda dengan jari-jari lainnya. Dan dimakruhkan bagi laki-laki memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk sebagaimana (larangan) dalam hadits, dengan larangan yang bersifat makruh tanzih (tidak sampai haram).” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 14/71)

CINCIN EMAS HARAM BAGI LAKI-LAKI6
Rasulullah r telah melarang kaum laki-laki dari umatnya memakai cincin emas. Bahkan semua perhiasan yang terbuat dari emas telah diharamkan di dalam Islam bagi kaum laki-laki. Di dalam sebuah hadits dari Abdullah al-Ghafiqi berkata :
Aku mendengar Ali bin Abi t Thalib berkata : Rasulullah r memegang kain sutra di tangan kirinya dan emas di tangan kanannya, kemudian beliau mengangkatnya, lalu bersabda, 'Dua benda (emas dan sutra) ini haram bagi laki-laki dari umatku, dan halal bagi wanita umatku.” (HR. Ibnu Majah : 3595, dishahihkan oleh al-Albani dalam al'Irwa' : 277 dan Adabuz Zifaf : 150)
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rohimahullah, “Ibnu Daqiq al-'Id berkata, 'Larangan (hadits di atas) secara lahiriah hukumnya haram, inilah perkataan para imam, dan menjadi ketetapan di atas hal itu.' 'Iyadh berkata, 'Adapun yang dinukil dari Abu Bakar bin Amr bin Hazm bahwa dia memakai cincin emas, maka (jika shahih) itu adalah menyelisihi yang lebih kuat/syadz, dan bisa juga (dia memakainya) karena belum sampainya dalil (larangan) kepadanya, karena seluruh (ulama) umat ini setelah itu sepakat atas keharamannya (cincin emas bagi laki-laki).'” (Fathul Bari 10/317)

CINCIN PERAK BOLEH BAGI LAKI-LAKI7
Lajnah Da'imah, di dalam salah satu fatwanya, menetapkan :
Kaum laki-laki diperbolehkan memakai cincin yang terbuat dari perak baik karena ada kebutuhan atau bukan karena kebutuhan, sebagaimana dalil-dalil yang datang di dalam sunnah (Nabi) yang suci.” (Fatawa Lajnah Da'imah 24/61)

Fatwa di atas didasari oleh beberapa hadits, di antaranya dari Anas bin Malik beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ
Sesungguhnya r Rasulullah pernah memakai cincin perak di tangan kanannya.” (HR. Muslim : 5608)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun (laki-laki) memakai cincin perak, maka dibolehkan dengan kesepakatan para imam, karena telah datang dalil shahih dari Nabi r bahwa beliau memakai cincin perak, bahkan sahabatnya juga memakainya; berbeda dengan cincin emas (bagi laki-laki), maka hukumnya haram dengan kesepakatan para imam empat karena telah datang dalil shahih dari Nabi r bahwa beliau melarang (cincin emas) itu.” (Majmu' Fatawa 25/63)

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG CINCIN BESI BAGI LAKI-LAKI8
Para ulama berbeda pendapat tetnang hukum memakai cincin besi bagi kaum laki-laki. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan.9
Adapun yang melarang, mereka berdalil dengan sebuah hadits dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata :
Ada seseorang datang kepada Nabi r dengan memakai cincin emas, lalu Nabi bersabda, 'Mengapa aku mencium darimu bau berhala?' Kemudian orang tersebut melemparkan (cincin emas)nya, lalu dia datang lagi dengan memakai cincin dari besi, lalu Nabi r bersabda, 'Mengapa aku melihat pada dirimu ada perhiasan penduduk neraka?' Lalu orang tersebut melemparkan (cincin besi)nya, sambil bertanya, 'Wahai Rasulullah, cincin apa yang boleh aku pakai?' Nabi bersabda, 'Buatlah dari perak, dan jangan melebihi 1 mitsqal.'” (HR. Abu Dawud : 4223 dan an-Nasa'i : 9508)
Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Tidak mengapa (laki-laki) memakai jam tangan dan cincin dari besi, hal itu sebagaimana telah ada keterangan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi r bertanya kepada seorang laki-laki yang sedang meminang (wanita)' carilah (mahar) meskipun cincin dari besi'. Adapun hadits yang diriwayatkan tentang larangan (cincin dari besi) itu, maka hadits tersebut syadz (menyelisihi yang lebih kuat). Hadits itu bertentangan dengan hadits yang shahih ini.” (Fatawa Islamiyyah, asy-Syaikh Ibnu Baz, 4/324)
Larangan memakai cincin dari besi, haditsnya lemah, sebagaimana hadits Abdullah bin Buraidah telah dinyatakan dha'if (lemah) oleh al-Albani (di dalam Dha'if an-Nasa'i : 5195, Misykat al-Mashabih : 4396, dan Adabuz Zifaf : 146). Dan hadits tersebut juga dinyatakan dha'if/lemah oleh Lajnah Da'imah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' ditandatangani oleh Ibnu Baz sebagai ketua, Abdurrazzaq sebagai wakil, dan Abdullah al-Ghadiyah sebagai anggota (Fatawa Lajnah Da'imah 24/65).
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Hukum asal segala sesuatu itu halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dan menurutku, di dalam masalah (cincin besi) ini sepatutnya kita untuk menjauhinya, karena hadits yang dijadikan dalil oleh pihak yang melarang (cincin besi) itu, meskipun di dalamnya ada cacat, hal itu cukup menjadikan masalah ini menjadi syubhat/rancu bagi kita, sedangkan menjauhi syubhat adalah termasuk perintah agama Islam sebagaimana Rasulullah r bersabda, 'Perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas dan antara keduanya itu ada perkara syubhat yang tidak diketahui banyak manusia. Barang siapa menjaga diri dari syubhat, maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya.'” (Fatawa Nur 'ala ad-Darb, asy-Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, 3/47).
Pendapat yang kuat adalah makruh, sebaiknya ditinggalkan untuk hati-hati.

HUKUM TUKAR CINCIN/CINCIN TUNANGAN
Di antara kebiasaan sebagian kaum Muslimin di zaman ini, tukar cincin pada saat tunangan. Masing-masing calon pengantin memakai cincin tersebut sebagai tanda bahwa keduanya telah terikat dalam pertunangan. Bahkan ada yang menganggap cincin tersebut mengekalkan hubungan mereka. Perkara ini bisa terjadi dikarenakan beberapa sebab. Di antara sebabnya, penjajahan kaum kafir terhadap kaum Muslimin terutama dengan perang pemikiran, adanya kaum Muslimin yang datang dari negeri kafir dengan membawa adat Barat ini, dan sebab lain adalah kebodohan umat terhadap agama Islam.
Para ulama telah berfatwa tentang haramnya tukar cincin saat pertunangan. Asy-Syaikh Ibnu Baz telah berfatwa tentangnya. Beliau berkata, “Saya tidak tahu asal-usul (tukar cincin) ini, sebaiknya kebiasaan ini segera ditinggalkan.” (Fatawa Ulama al-Balad al-Haram : 500).
Asy-Syaikh al-Fauzan berfatwa, “Adapun tukar cincin kawin bukanlah termasuk kebiasaan kaum Muslimin. Maka dari itu, tidak boleh sekali-kali memakainya, dengan alasan :
  1. (Kebiasaan tukar cincin kawin) adalah membebek suatu kaum yang tidak ada kebaikan pada mereka; itu diadopsi dari (kaum kafir) oleh kaum Muslimin.
  2. Apabila dibarengi dengan keyakinan bahwa cincin itu berpengaruh terhadap (kelanggengan) hubungan suami istri, maka masuk dalam bab kesyirikan. (al-Muntaqa 5/336
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “(Tukar cincin kawin) merujuk kepada adatnya kaum terdahulu (Nashara). (Dahulu) calon pengantin laki-laki memakaikan cincin kawin ti ujung ibu jari calon pengantin wanita dan mengatakan 'dengan nama (tuhan) bapak', lalu memasangkannya di ujung jari telunjuknya dan mengatakan 'dengan nama (tuhan) anak' – maksud nama 'bapak' adalah Tuhan, sedang (tuhan) 'anak' adalah Isa bin Maryam -, kemudian cincin itu dikenakan di jari tengah sambil mengatakan 'dengan nama ruhul qudus', lalu tatkala dia mengucap 'amin' dia memakaikannya di jari masisnya supaya kekal.”
(Al-Albani melanjutkan,) “Wahai kaum Muslimin, jika ini adalah adat yang diadopsi dari kaum Nashara, bagaimana mungkin kalian rela membebek kepada mereka padahal kalian disifatkan sebagai orang Islam. Kalian menyerupai mereka, padahal kalian tahu bahwa Nabi r bersabda, 'Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.' Bagaimana mungkin kalian terjerumus kepada khurafat yang tidak ada hakikatnya ini. Cincin kawin tidak akan mendatangkan kasih sayang. Tanpa cincin kawin pun, kasih sayang tidak akan lenyap.”

KESIMPULAN
  1. Semakin jauh generasi kaum Muslimin dari zaman kenabian semakin buruk kondisi mereka secara umum.
  2. Terjatuhnya manusia ke dalam suatu kesalahan dan kemaksiatan di antaranya disebabkan kebodohan umat terhadap agamanya.
  3. Para wanita tidak dilarang memakai cincin terbuat dari apa pun baik emas, perak, atau selain keduanya, bahkan jika dimaksudkan untuk berhias buat suaminya maka itu dianjurkan di dalam Islam.
  4. Hukum pemakaian cincin pada kaum laki-laki harus diperinci :
  • jika terbuat dari emas maka haram menurut kesepakatan;
  • jika terbuat dari perak maka halal menurut kesepakatan; dan
  • jika terbuat dari besi maka ada perbedaan pendapat, dan yang lebih kuat adalah makruh, demi kehati-hatian maka selayaknya ditinggalkan.
  1. Dibolehkan memakai cincin baik di tangan kanan atau di tangan kiri.
  2. Mata cincin boleh diletakkan di atas/luar, boleh juga di dalam; dan lebih utama di dalam (dekat dengan telapan tangan) sebagaimana alasan yang telah dipaparkan.
  3. Para ulama bersepakat bahwa khusus kaum laki-laki dilarang memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk, dan boleh pada selain keduanya. Adapun kaum wanita maka dibolehkan di jari mana pun.
  4. Tukar cincin kawin hukumnya haram karena merupakan adat yang diadopsi dari kaum kafir. Perbuatan tersebut termasuk ber-tasyabbuh (menyerupai/meniru) kaum kafir, dan suatu ketika bisa menjadi kesyirikan jika diiringi dengan keyakinan yang batil. Wallahu A'lam.
Oleh: Oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah
-------------------------------------------------------------------------------------------
1 Dinukil perkataan ini dari penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin di dalam Liqa' al-Bab al-Maftuh 11/47.
2 Seperti pendapat al-Imam Malik yang dinukil oleh al-Hafizh di dalam Fathul Bari 10/400.
3 Lihat Mausu'ah Fiqhiyyah 11/24-dengan penyesuaian.
4 Demikian juga fatawa para ulama masa kini, seperti Ibnu Baz dan lainnya, lihat Fatawa Islamiyyah, asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz, 4/319.
5 Berbeda dengan al-Imam Ahmad, al-Baghawi, dan al-Baihaqi yang mengatakan bahwa memakai cincin di tangan kiri lebih utama. Alasannya, jika seseorang mengenakan cincin di tangan kiri, berarti dia memakaikannya dengan tangan kanan, dan melepaskannya dengan menggunakan tangan kanan; riwayat-riwayat Nabi menggunakan cincin di tangan kiri lebih kokoh dan lebih terakhir; ditambah lagi bahwa Abu Bakar, Umar, dan Ali mereka semua memakai cincin di tangan kiri mereka (lihat al-Adab:373, Syarh as-Sunnah 12/58, dan al-Adab asy-Syar'iyyah 4/184).
6 Lihat Ahkamul Khawatim, Ibnu Rajab, hlm.46;al-Furu', Ibnu Muflih, 2/276; dan lihat juga Fatawa Islamiyyah, asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz, 4/319.
7 Al-Inshaf Iil Mardawi 3/142, Syarh Shahih Muslim an-Nawawi 14/67, lihat juga Fatawa Islamiyyah asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz 4/319.
8 Lihat Ahkamul Khawatim hlm.67.
9 Lihat Fatawa Nur 'ala ad-Darb, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/47.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 157 Tahun ke-14 Halaman 27-31


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Mutiara Salaf

"Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan baik generasi awalnya"

-Imam Malik-

Info Kajian

Pada Hari Ahad

Jam 8.30 pagi.
pekan ke-2 dan ke-4 setiap bulan
Kajian Umum Kitab : "Shahih Fiqih Sunnah"
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim
di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Abu Mundzir Al-Ghifary hafidzahullah
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Jauhari (085384960382)

Pada Hari Ahad

Jam 9.00 pagi.
pekan ke-1 setiap bulan
Kajian Umum Kitab : "al-Firqotun Najiyah"
karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Misbah hafidzahullah
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Ahmad Sholihin (081391834830)

Pada Hari Sabtu

Jam 18.15 (Ba'da Maghrib)
pekan ke-2 dan ke-4 setiap bulan
Kajian Umum Kitab : "Tafsir Juz 'Amma"
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Zakariya Syaiful Fuad
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Ahmad Sholihin (081391834830)

Pada Hari Jum'at, Sabtu, Ahad

Jam 18.15 (Ba'da Maghrib)
Kajian Umum Kitab : "Pelajaran Cara Cepat Menguasai Bahasa Arab"
“Kunci Sukses Belajar Nahwu & Shorof Untuk Pemula”yang disusun oleh Al Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali A.M.

di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Abu Kholid Iqbal Al Farisi
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Zakariya (081226810066)

Video Tausiyah

Radio Sunnah


Banyak Dibaca

Video: Aku Akan Berubah

Jadwal Sholat

Pengunjung

Flag Counter

KALENDER

Diberdayakan oleh Blogger.