MULIA
DENGAN TA'ARUF DAN NAZHAR
Ta'aruf
adalah proses untuk saling
mengenal antara dua insan berlainan jenis yang sudah berazam untuk
menikah. Sifat, karakter (watak), dan kepribadian calon pasangan akan
menjadi jelas setelah ta'aruf. Di dalam ta'aruf, ada etika yang harus
di perhatikan, seperti tidak boleh berdua-duaan, harus dengan mahram,
dan sebagainya.
Sesudah
ta'aruf, agar lebih mantap dalam melangkah (menuju pernikahan), ada
kegiatan nazhar.
Nazhar ialah saling melihat calon pasangan (yang akan dinikahi)nya.
Ada kalanya nazhar dilakukan bersamaan dengan ta'aruf. Tentang
nazhar, sangat banyak dalil yang mengajurkannya; di antaranya :
-
Diriwayatkan bahwa Sahabat al-Mughirah t akan meminang seorang wanita, maka Nabi r berkata kepadanya :
اُنْظُرْ
إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَْن
يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah calon istrimu karena
hal itu akan lebih melanggengkan hubungan kalian berdua.”1
-
Pada suatu hari, ada seorang laki-laki datang memberi tahu Rasulullah r bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita Anshar. Lalu Nabi r bertanya kepadanya, “Sudahkah engkau melihatnya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Maka Nabi r bersabda :
فَاذْهَبْ
فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ
الْأَنْصَارِ شَيْئًا
“Pergi dan lihatlah, karena
sesungguhnya pada mata kaum Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim :
1427)
Al-Imam
an-Nawawi berkata, “Di dalam hadits ini, ada anjuran untuk melihat
wajah calon yang akan dinikahi. Inilah madzhab kami, Malik,
Abu Hanifah dan seluruh Kufiyyin, Ahmad, dan jumhur ulama. Al-Imam
al-Qadhi menceritakan bahwa ada sekelompok orang
yang membencinya, ini ini adalah kesalahan yang menyelisihi kejelasan
hadits ini.” (Syarah Shahih Muslim 9/210)
Itulah jalan mulia sebelum pernikahan,
ta'aruf secara syar'i dan nazhar, bukan pacara yang tujuannya hanya
melampiaskan kepuasan syahwat! Jalan menuju pernikahan bukan dengan
bergandengan tangan, saling memandang, bahkan sampai yang lebih parah
dari itu!!
RENUNGAN
SEPUTAR PACARAN
Untuk menentukan status “berpacaran”
di dalam hukum Islam, mari kita renungkan beberapa hal berikut ini :
Pertama :
Islam menutup segala sarana menuju zina
Allah I
berfirman :
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴿٣٢﴾
Dan janganlah kamu mendekati zina.
Sesungguhnya zina merupakan suatu perbuatan yang keji dan jalan yang
buruk. (QS. Al-Isra' [17] : 32)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah
melarang para hamba-Nya dari perbuatan zina dan dari 'mendekatinya',
maksudnya berinteraksi dengan sebab-sebab yang bisa mendorong
perbuatan zina. Sebab, zina adalah perbuatan dosa besar dan jalan
yang jelek.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/72)
Maka, segala sarana dan perbuatan yang
bisa menghantarkan kepada perbuatan zina dilarang keras oleh Islam.
Misalnya berpacaran, berdua-duaan dengan ipar, atau bergandengan
tangan dengan sepupu. Segala perbuatan tersebut jelas haram karena
mereka semua – pacar, ipar, dan sepupu – bukan mahram!! Janganlah
kita meremehkan hal ini karena bisa jadi perbuatan yang dianggap
biasa (lazim), ternyata dihukumi haram menurut syari'at Islam.
Perhatikan hadits berikut ini :
Rasulullah r
bersabda :
“Telah ditulis bagi anak Adam,
baginya dari zina. Dia pasti mendapatinya, tidak mustahil. Kedua
mata, zinanya adalah melihat. Kedua telingan, zinanya adalah
mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah
menyentuh. Kaki, zinanya adalah melangkah. Hati berkeinginan dan
berangan-angan, sedangkan kemaluan-lah yang akhirnya membenarkan atau
mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari : 6243, Muslim : 2657)
Al-Imam Ibnu Baththal berkata : “Nabi
r menamakan 'melihat dan berbicara'
dengan zina karena keduanya bisa mendorong pada perbuatan zina yang
sebenarnya. Oleh karena itu, Nabi r
mengatakan 'dan kemaluan itu yang membenarkan atau mendustakannya'.”
(Fathul Bari 11/28)
Kedua
: Islam melarang menyentuh tubuh lawan jenis yang bukan mahram
Selama akad nikah belum terucap, haram
bagi dua insan berlainan jenis yang bukan mahram untuk bergandengan
tangan atau saling menyentuh. Orang yang berpacaran tidak lepas dari
hal itu. Pada umumnya, orang berpacaran akan berjabat tangan,
bergandengan, atau berpegangan dengan kekasihnya(!!). Ketahuilah,
nabi kita Muhammad tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak
halal baginya. Beliau bersabda :
إِنِّي
لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا
قَوْلِي لـِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي
لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak menjabat
tangan wanita 'asing' (bukan mahram). Sesungguhnya ucapanku kepada
seratus wanita sama/semisal dengan kepada seorang wanita saja.”2
Bahkan
istri beliau, Aisyah bersumpah, “Demi Allah, tidak pernah sama
sekali tangan Rasulullah r
menyentuh tangan wanita ketika bai'at.” (HR
al-Bukhari : 4891, Muslim : 1866)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata, “Sumpah Aisyah ialah untuk menguatkan berita
yang beliau ceritakan.” (Fathul Bari 8/505)
Al-Imam
al-Iraqi berkata, “Apabila beliau saja tidak berjabat tangan dengan
wanita padahal tidak ada keraguan dan terjaga, maka selain beliau
lebih utama untuk tidak berjabat tangan dengan wanita.” (Tharhu
at-Tatsrib 7/44)
Al-Imam
Ibnu Abdil Barr berkata, “Sabda Nabi r
'aku tidak menjabat tangan wanita' adalah dalil bahwasanya tidak
boleh seorang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang tidak halal
baginya.” (at-Tamhid 5/44)
Ketiga
: Islam melarang khalwat
Khalwat adalah
berdua-duaan dengan lawan jenis yang tidak halal. Orang yang
berpacaran, umumnya menyepi dan berdua-duaan, bahkan selalu mencari
kesempatan dalam kesempitan! Khalwat antara wanita dan laki-laki yang
bukan mahram termasuk perbuatan dosa dan sarana paling besar menuju
perbuatan haram. Bahkan Rasulullah r
telah menegaskan keharaman khalwat dalam hadits-hadits yang sangat
banyak, di antaranya :
-
Hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas y bahwasanya Rasulullah r bersabda:
لاَ
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ
مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki
berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali (apabila wanita tersebut)
bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari : 3006, Muslim : 1341)
Al-Imam Ibnu Hibban berkata, “Hadits
ini berisi penjelasan bahwasanya seorang wanita dilarang berdua-duaan
dengan seorang laki-laki tanpa bersama mahramnya baik ketika safar
(perjalanan) maupun tidak.” (Shahih Ibnu Hibban 8/149)
-
Hadits yang bersumber dari 'Uqbah bin 'Amir bahwasanya Rasulullah r bersabda :
“Hindarkanlah diri kalian dari
masuk kepada wanita.” Kemudian ada seorang Sahabat Anshar yang
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapat Tuan dengan saudara
ipar?” Rasulullah menjawab, “Saudara ipar adalah kematian.” (HR
al-Bukhari : 9330, Muslim 5/16)
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Hadits
ini menunjukkan haramnya khalwat dengan wanita asing dan bolehnya
khalwat jika (wanita tersebut) bersama mahramnya. Dua perkara ini
telah disepakati oleh para ulama.” (Syarah Shahih Muslim
5/16)
Keempat
: Islam memerintahkan agar kita menundukkan pandangan
Anggaplah bahwa orang yang berpacaran
selamat dari khalwat atau tidak bergandengan tangan, tetapi apakah
orang yang berpacaran bisa selama dari saling memandang? Padahal
Allah I telah memerintahkan kita
agar menundukkan pandangan! Allah I
berfirman :
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴿٣٠﴾وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada
wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya . . . (QS an-Nur [24] : 30 – 31)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini
adalah perintah Allah kepada para hamba-Nya yang beriman agar mereka
menundukkan pandangan-pandangan mereka dari perkara-perkara yang
haram mereka lihat. Maka janganlah mereka melihat selain apa yang
dibolehkan bagi mereka. Apabila tanpa sengaja melihat sesuatu yang
haram maka hendaknya dia segera memalingkan pandangannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir 3/282)
Rasulullah r
bersabda :
ايّاكم
والجلوس في الطرقات,
قالوا
:
يا
رسول الله ما لنا من مجالسنا بدّ نتحدّث
فيها,
ققال
رسول الله ص.م
:
فاذا
ابيتم الاّ المجلس فاعطوا الطّريق حقّه,
قالوا
:
وما
حقّ الطّريق يا رسول الله ؟ قال :
غضّ
البصر,
وكفّ
الاذي,
وردّ
السّلام,
والامر
بالمعروف,
والنّهي
عن المنكر
“Hindarkanlah diri kalian dari
duduk-duduk di pinggir jalan.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, tidaklah kami duduk-duduk melainkan sekadar untuk
berbincang-bincang.” Maka Rasulullah r
mengatakan, “Apabila kalian tetap ingin duduk-duduk di pinggir
jalan maka berikanlah jalan itu haknya.” Para sahabat bertanya
kembali, “Apa haknya, wahai Rasulullah?” Rasulullah r
menjawab, “Menundukkan pandangan, tidak menggangu, menjawab salam,
dan amar makruf nahi mungkar.” (HR al-Bukhari : 2333, Muslim :
2121)
Al-Imam
Ibnul Qayyim berkata,
“Pandangan adalah asal segala bencana yang menimpa manusia. Bermula
dari pandangan, lahirlah keinginan. Dan keinginan akan melahirkan
pemikiran. Dari pemikiran, akan lahirlah syahwat (hawa nafsu). Pada
akhirnya, syahwat itu akan mendorong menjadi hasrat yang sangat kuat
hingga terjadi apa yang dia inginkan.” (al-Jawabul Kafi
hlm. 79)
Setelah kita bisa memahami empat
perkara di atas, masih beranikah kita berpacaran? Atau bahkan
melegalkan pacaran dengan berbagai macam dalih? Bertaqwalah, wahai
para hamba yang beriman!!
Ada sebuah pertanyaan yang
menggelitik, “Pacaran yang haram 'kan pacaran yang melanggar etika
dan rambu islam. Sekarang kami ingin 'pacara secara islami'. Apakah
tetap tidak boleh?”
Kita
katakan :
Apa maksudnya 'pacaran secara islami'? Jika maksudnya adalah pacaran
islami setelah
menikah
maka hal ini boleh, tidak ada kesamaran padanya. Akan tetapi, jika
maksudnya adalah tetap berhubungan dengan kekasih namun modelnya
lebih 'islami', seperti hubungan hanya lewat telepon atau Facebook,
atau bertemu dengan kekasih tetapi disertai teman, atau model
lainnya, maka hukumnya pun tetap haram! Sebab, suatu nama yang
disandarkan kepada Islam pasti diajarkan dalam Islam atau ada
sandarannya dalam Islam, dan ini tidak
dijumpai dalam
pacaran!! Di samping itu, siapa yang bisa menjaga hati kita untuk
tidak teringat 'si dia'? Siapa yang bisa menjami bahwasanya kita aman
ketika mendengar suaranya, apalagi kalau sampai memandang wajahnya!!
Allahul Musta'an.
Allahu A'lam.
----------------------------------------------------------------------------------
1
HR at-Tirmidzi : 1087, an-Nasa'i : 3235, Ibnu Majah : 1866, Ahmad
4/144, ad-Darimi : 2/134; lihat ash-Shahihah
No. 96.
2 HR
an-Nasa'i : 4192, Ahmad 6/357, Malik 2/982. Shahih; lihat
ash-Shahihah No.
529 oleh al-Albani.
Sumber:
Majalah Al-Furqon Edisi 157 Tahun Ke-14 Halaman 76-79
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer