Alhamdulilah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad r, keluarga beliau, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Islam sebagai agama yang paling sempurna dan paling sesuai untuk diterapkan pada setiap waktu, tempat dan keadaan, telah mengatur segala sesuatu pernak-pernik kehidupan manusia, dari yang kecil sampai urusan yang besar. Inilah yang telah dipahami oleh manusia-manusia terbaik sepanjang zaman tentang agama yang mulia ini. Merekalah para sahabat Nabi r yang memiliki ketundukan sempurna terhadap syariat Islam, sehingga dengan itu mereka menyandang gelar khairunnaas (sebaik-baik manusia) atau khairu umat (umat terbaik).
Imam Muslim rohimahullah meriwayatkan dari Salman al-Farisi t, seorang sahabat yang mulia, bahwa orang-orang musyrik berkata kepadanya, “Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang hajat?!” Maka Salman menjawab dengan bangga, “Iya, beliau melarang kami buang hajat menghadap kiblat, melarang kami ber-istinja (cebok) dengan tangan kanan, dan melarang kami ber-istinja dengan kurang dari tiga batu atau dengan kotoran atau dengan tulang.”
Dan di antara salah satu wujud kesempurnaan agama Islam ini adalah diberikannya tuntunan-tuntunan dalam hal berpakaian, terutama kaum muslimah. Dimana agama ini mengatur sedemikian rupa sehingga pakaian yang dipakai manusia bisa menutup aurat mereka, sehingga fitnah (bencana) yang ditimbulkan karena syahwat terhadap lawan jenis pun bisa diminimalisir.
Hanya saja telah menjadi sunnatullah, bahwa setiap kali ada kebenaran yang datang pasti akan ada setan yang membuat rancu kebenaran tersebut di pandangan manusia dengan berbagai perkataan yang dihiasi-hiasi. Allah I berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ﴿١١٢﴾
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabb-mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An'am : 112)

Maka syariat jilbab bagi wanita muslimah, yang telah jelas ditetapkan dalam Al-Quran, dan telah menjadi ciri khas wanita muslimah semenjak zaman Nabi r, pun tidak lepas dari berbagai syubhat yang dilontarkan setan-setan itu untuk menyambar hati orang-orang yang lemah keimanannya sehingga mereka pun ikut menyimpang. Allah I berfirman melanjutkan ayat di atas,
وَلِتَصْغَىٰ إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ﴿١١٣﴾
Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (setan) kerjakan.” (al-An'am : 113)

Maka, dalam rangka untuk membela syariat Allah, sekaligus sebagai upaya untuk membantu menguatkan keimanan kaum muslimin, terutama dalam syariat jilbab ini; akan kami sampaikan beberapa syubhat yang banyak bertebaran berkaitan dengan syariat jilbab ini disertai dengan bantahan-bantahan terhadapnya.

Syubhat Pertama :
Jilbab Membuat Susah Padahal Islam Agama Yang Mudah”
Sebagian da'i penentang syariat jilbab menyangka bahwa mengenakan jilbab adalah merupakan salah satu bentuk sikap ekstrim dalam beragama, sesuatu yang menyusahkan kaum wanita padahal agama ini agama yang mudah. Maka berhias dengan membuka aurat adalah suatu maslahat yang dituntut oleh karena adanya kesusahan ini, terutama di masa-masa sekarang!
Bantahan :
Dalam syubhat ini ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama tentang sikap ekstrim, kedua tentang klaim bahwa syariat jilbab adalah menyusahkan kaum wanita, dan yang ketiga adalah anggapan adanya maslahat dalam membuka aurat.
Tentang sikap ekstrim, maka sesungguhnya hakikat sikap ekstrim adalah berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam penerapan syariat. Sedangkan memakai jilbab adalah sesuatu yang telah digariskan bahkan diwajibkan oleh Allah I, sebagaimana telah Allah tegaskan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴿٥٩﴾
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (al-Ahzab : 59).

Maka sama sekali bukan sikap ekstrim jika seorang wanita muslimah mengenakan jilbab syar'i. Bahkan termasuk peremehan dan kemaksiatan jika dia menanggalkan jilbabnya, karena melanggar ayat tersebut di atas.
Adapun klaim adanya kesusahan dalam syariat jilbab ini, maka hal ini jelas terbatalkan karena jilbab telah nyata merupakan syariat Allah I. Karena apa saja yang Allah syariatkan kepada hamba-Nya pasti masuk dalam daerah kemampuan mereka dan tidak akan menyusahkan mereka. Allah I berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah : 185)

Allah I juga berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untuk kamu dalam agama.” (al-Hajj : 78)

Sedangkan tentang maslahat, maka maslahat yang dianggap oleh syariat adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash atau dalil syar'i. Seandainya ada seseorang yang menganggap ada suatu maslahat pada suatu perkara padahal itu bertentangan dengan syariat, maka sesungguhnya itu bukanlah maslahat. Karena pada hakikatnya yang mengetahui maslahat bagi manusia adalah Allah I yang menciptakan mereka dan sekaligus menetapkan syariat bagi mereka. Disamping itu, maslahat yang dimaksud dalam agama ini adalah maslahat yang masuk dalam lima maqasid syariat (tujuan-tujuan syariat); yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dan tidak ragu lagi bahwa syariat jilbab termasuk syariat yang menjaga perkara-perkara ini, sedangkan membuka aurat akan mengarah kepada kerusakan.
Syubhat Kedua :
Jilbab Merupakan Adat Kebiasaan Jahiliyah Dan Merupakan Bentuk Kemunduran Dan Keterbelakangan”
Bantahan :
Pertama, sesungguhnya jilbab yang diwajibkan Islam bagi kaum wanita tidak dikenal oleh bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Bukti akan hal ini bahwa dalam Al Quran Allah I telah mencela tata cara berhias wanita-wanita Jahiliyah dan mengarahkan wanita muslimah untuk meninggalkan tata cara berhias mereka. Allah I berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab : 33)

Dan telah diketahui dari hadits-hadits bahwa dahulu banyak di antara wanita-wanita jahiliyah yang berhias dengan bertato, menyambung rambut, mencabut bulu wajah (termasuk alis) dan sebagainya yang menunjukkan bahwa mereka berhias dengan membuka aurat.
Kedua, berbicara tentang kemunduran dan keterbelakangan, maka sesungguhnya kemajuan dan kemunduran jelas memiliki sebab-sebab yang jelas. Dan tidak pernah ada kaitan antara kemajuan dan keterbelakangan suatu kaum dengan pakaian yang mereka pakai. Karena sesungguhnya kemajuan dan peradaban manusia itu merupakan hasil dari usaha yang mereka lakukan dengan akal dan pikiran mereka (setelah takdir Allah), bukan karena pakaian atau penampilan mereka.
Ketiga, bahwa peradaban manusia itulah yang hendaknya tunduk kepada syariat Allah dan ajaran-ajaran agam-Nya. Karena Islam adalah agama yang tidak akan bertentangan dengan peradaban manusia yang lurus. Bahkan kaum muslimin akan maju jika mereka benar-benar menerapkan agama mereka, sebagaimana hal ini telah terbukti dari sejarah pendahuluan kaum muslimin.

Syubhat Ketiga :
Yang Penting Perilaku Bukan Penampilan.”
Sebagian wanita enggan berjilbab karena mereka menyangka sama saja antara berjilbab dan tidak, yang penting menurutnya adalah perilaku, akhlak, dan hatinya, bukan sekadar penampilan. Karena ada juga orang yang berjilbab tapi melakukan perbuatan keji.
Bantahan :
Memang benar bahwa tidak semua orang yang berjilbab adalah wanita shalihah. Ada di antara wanita-wanita fajir yang menggunakan jilbab hanya sebagai kamuflase belaka. Namun yang jelas, tidak layak bagi sesama muslim untuk berburuk sangka apalagi sampai menjadikan kenyataan itu sebagai bahan untuk menyalahkan dan menolak syariat jilbab. Bukankah wanita-wanita fajir yang tidak berjilbab jauh lebih banyak dari wanita-wanita yang berjilbab?! Seandainya ada sebagian dokter yang berperilaku tidak sesuai dengan etika kedokteran, apakah kita akan menyatakan bahwa semua dokter tidak punya etika?!
Selain itu, pandangan orang yang berakal secara umum telah jelas menyatakan bahwa jilbab yang menutupi aurat itu merupakan pertanda bahwa wanita itu ingin menjaga kehormatan dirinya, tidak mau mengumbar auratnya, sedangkan wanita yang membuka auratnya seakan-akan tidak memiliki rasa malu dalam mengumbar auratnya.
Dan agama Islam yang memerintahkan manusia untuk berhati dan berperilaku baik juga memerintahkan mereka untuk berpakaian sesuai syariat. Lalu kenapa syariat Islam yang berkaitan dengan hati dan perilaku bisa diterima sedangkan syariat dalam berpakaian tidak bisa diterima? Seandainya jilbab ini hanya penampilan belaka dan bukan syariat yang harus ditaati, tentunya Allah tidak mengancam neraka bagi para wanita yang membuka auratnya. Rasulullah r telah bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan penduduk neraka yang belum aku lihat. Orang-orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia. Dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpang dan menyimpangkan orang lain dari ketaatan, kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga bisa dicium dari jarak demikian dan demikian.” (Riwayat Muslim)
Maka tidak sama antara wanita yang berjilbab dengan wanita yang membuka auratnya.

Syubhat Keempat :
Perubahan Zaman Menyebabkan Perubahan Hukum.”
Sebagian penentang jilbab sengaja mengambil beberapa kaidah yang telah ditetapkan para ulama, dengan pemahaman yang salah. Di antara kaidah itu adalah “Perubahan zaman menyebabkan perubahan hukum” dan kaidah “Adat kebiasaan bisa menjadi landasan dalam menetapkan hukum”. Dengan kaidah yang mereka pahami keliru ini mereka mengatakan bahwa jilbab hanya layak diterapkan pada masa-masa dahulu, sedangkan sekarang zaman telah berubah maka hukum pun ikut berubah.
Bantahan :
perlu pahami bahwa hukum Islam tidak akan berubah selamanya, karena Allah telah menyempurnakan agama ini sebagaimana dalam firman-Nya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah : 3).
Akan tetapi yang bisa berubah adalah fatwa-fatwa atau hukum-hukum yang dibangun di atas landasan adat kebiasaan tertentu. Maka hukum atau fatwa tersebut akan bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan individu.
Dalam hal ini kita harus bisa memahami bahwa adat kebiasaan manusia itu tidak lepas dari dua keadaan :
Pertama, adat kebiasaan yang sekaligus sebagai hukum syar'i yang Allah tetapkan. Maka hukum-hukum semacam ini tidak akan pernah berubah sama sekali, meskipun mayoritas manusia hampir-hampir tidak mengenalnya. Di sinilah jilbab wanita muslimah dikategorikan. Dia merupakan kebiasaan kaum muslimin dan sekaligus syariat yang Allah tetapkan. Sehingga seandainya ada seorang muslimah tinggal di negri kafir yang memiliki kebiasaan membuka aurat, maka wanita muslimah ini tetap wajib mengenakan jilbab meskipun hal itu bukan kebiasaan negri setempat. Adat kebiasaan yang semacam ini tidak masuk dalam kaidah yang telah disampaikan para ulama di atas.
Kedua, adat kebiasaan yang bukan merupakan hukum syar'i akan tetapi menjadi landasan dalam penetapan hukum. Misalnya seperti bahasa dan gaya bahasa yang digunakan masyarakat setempat, perkara-perkara yang berkaitan dengan adab sopan santun (yang tidak bertentangan dengan syariat), tabiat-tabiat masyarakat setempat seperti umur minimal baligh, dan lain sebagainya. Maka hukum-hukum yang dibangun di atas adat kebiasaan semacam inilah yang bisa berubah menurut perubahan adat manusia. Dan inilah yang dimaksud dalam kaidah di atas.

Syubhat Kelima :
Meneladani Tokoh Wanita Ternama.”
Para penentang jilbab terkadang berargumen dengan adanya tokoh-tokoh wanita muslimah ternama dengan berbagai tingkatannya yang tidak berjilbab. Bahkan mereka mencari-cari informasi tentangnya di buku-buku sejarah dan biogragi untuk menguatkan argumentasi ini.
Bantahan :
Kaum muslimin seluruhnya telah sepakat bahwa dalil-dalil yang menjadi landasan hukum adalah Al Qur'an, as-Sunnah, ijmak, dan qiyas. Lalu, masuk kategori dalil yang manakah argumentasi mereka ini, terlebih lagi kebanyakan tokoh-tokoh mereka itu hidup setelah berlalunya masa-masa pensyariatan dan setelah terhentinya wahyu?! Bahkan tidak dibenarkan seseorang berdalil dengan keadaan-keadaan individu tertentu (selain Rasulullah). Yang benar, perbuatan atau keadaan individu manusia yang dinilai dan ditimbang dengan hukum syar'i bukan malah sebaliknya hukum syar'i di timbang dengan perbuatan individu-individu tertentu.
Padahal, jika mereka bersikap objektif, niscaya mereka akan mendapatkan sejumlah besar tokoh-tokoh wanita muslimah yang berjilbab jauh melebihi tokoh-tokoh wanita yang tidak berjilbab. Kenapa mereka tidak mencari teladan dari tokoh-tokoh wanita muslimah dari penahulu umat Islam, semisal para wanita dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti mereka, yang jelas-jelas mereka telah mendapatkan predikat manusia-manusia terbaik.

Syubhat Keenam :
Berhias Adalah Perkara Yang Telah Menjadi Kebiasaan Yang Tidak Akan Menarik Perhatian Kaum Lelaki.”
Sebaliknya jilbab yang dipakai seorang wanita secara sempurna menutupi seluruh tubuhnya akan menarik perhatian kaum lelaki, sehingga mereka akan berkeinginan untuk mencari tahu tentang siapa wanita di balik jilbab itu.
Bantahan :
Pertama, seandainya berhias telah menjadi suatu kewajaran dan kebiasaan yang tidak akan menarik perhatian kaum lelaki, lalu kenapa para wanita suka berhias? Untuk apa mereka berhias?! Ini adalah anggapan yang bertolak belakang dengan kenyataan mereka.

Kedua, bagaimana mungkin berhias dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang tidak menarik perhatian lawan jenis, padahal para suami pasti akan tertarik dengan istri-istri mereka jika berhias dan mempercantik diri.
Ketiga, sesungguhnya daya tarik lawan jenis adalah sesuatu hal yang telah menjadi fitrah tabiat manusia. Tabiat ini selamanya tidak akanb berubah. Kaum lelaki akan semakin tertarik dengan wanita-wanita yang lebih menampakkan perhiasan dirinya. Seandainya ada seorang wanita cantik yang berhias dengan berbagai perhiasan dan membuka auratnya lewat di hadapan seorang lelaki namun lelaki itu tidak memiliki ketertarikan kepadanya, maka bisa dikatakan lelaki itu bukanlah lelaki normal dalma hal ini.
Keempat, realita menunjukkan bahwa tingkat kejahatan dan penyimpanan seksual berbanding lurus dengan banyaknya wanita-wanita yang berhias dan membuka aurat. Bahkan prosentase tersebar penyakit seksual seperti aids dan semisalnya, ada pada negara-negara liberalis yang membolehkan dan membebaskan segala sesuatu. Ini semua bukti bahwa berhiasnya seorang wanita adalah perkara yang sangat menarik perhatian kaum lelaki.
Kelima, adapun mata kaum lelaki yang diarahkabn kepada wanita berjilbab sempurna, maka permisalannya bagaikan seseorang yang melihat sampul sebuah buku. Dia tidak mengetahui isi kandungannya dan tidak akan terpengaruh oleh pemikiran dalam buku itu. Maka seorang lelaki yang melihat wanita berjilbab sempurna, dengan menutup auratnya secara sempurna, tidak akan mudah membangkitkan ketertarikan lelaki kepadanya.
Allah I telah berfirman,
ذٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu”. (al-Ahzab : 59)
Tentang ayat ini, Abu Hayyan berkata dalam tafsirnya (al-Bahrul Muhith), “Karena mereka menutup diri dengan kehormatan, maka mereka tidak diganggu dan tidak mendapatkan hal yang mereka benci. Karena jika seorang wanita betul-betul menutup diri, tidak akan ada lelaki yang datang mengganggunya, berbeda dengan wanita yang berhias maka dia akan menjadi mangsa kaum lelaki.”

Syubhat Ketujuh :
Berhias Merupakan Salah Satu Cara Untuk Mengungkapkan Nikmat Allah dan Termasuk Mensyukuri Nikmat Allah.”
Mereka mengatakan, “Aku tidak mau berjilbab karena menampakkan kecantikan termasuk salah satu cara mengungkapkan nikmat Allah dan merupakan bentuk syukur kepada-Nya. Bagaimana mungkin aku menyembunyikan nikmat yang telah Allah berikan kepadaku berupa rambut indah dan kecantikan yang menawan?!”
Bantahan :
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah yang telah menciptakan kecantikan itu, Dia jugalah yang memerintahkan untuk menutupinya. Allah I berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ .
. . . dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka . . . “ (an-Nur : 31).
Dan Allah I berfirman,
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (al-Ahzab : 59)
Nikmat terbesar yang telah Allah berikan kepada kita adalah keimanan dan hidayah. Kenapa nikmat terbesar ini tidak ditampakkan dan diungkapkan dengan ketundukan terhadap syariat-syariat-Nya yang diantaranya adalah jilbab yang syar'i. Padahal di antara salah satu bentuk syukur kepada Allah I adalah menggunakan nikmat-nikmat yang telah Allah berikan itu sesuai dengan tuntunan dan syariat Allah. Maka tatkala seluruh tubuh ini adalah nikmat Allah I, hendaknya kita pun menundukkannya untuk sesuai dengan syariat dan tuntunan Allah I, dalam rangka bersyukur kepada Allah I.

Syubhat Kedelapan :
Hawa Udara Yang Panas Tidak Cocok Untuk Mengenakan Jilbab.”
Bantahan :
Kita katakan kepada mereka yang memiliki syubhat ini, ingatlah firman Allah I,
قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ

Katakanlah, 'Api neraka jahannam itu lebih sangat panas (nya),' jika mereka mengetahui”. (at-Taubah : 81)
Lalu berikanlah pilihan kepadanya dari dua keadaan; panasnya dunia yang masih bisa kita tahan, atau panasnya api neraka yang panasnya tujuh puluh kali lipat panas api dunia. Tentu orang yang berakal akan memilih panas yang ringan dalam menaati Allah di dunia, dari pada panas yang berat di akhirat. Karena jika dia mampu bersabar dalam menaati Allah, niscaya dia akan meraih surga yang luasnya langit dan bumi.

Syubhat Kesembilan :
Hidayah di Tangan Allah.”
Ada wanita yang mengatakan, aku tahu jilbab itu wajib, namun aku belum mendapat hidayah untuknya, aku akan berjilbab jika hidayah itu datang!!?
Bantahan :
Memang benar hidayah itu di Tangan Allah. Namun hidayah itu sama halnya dengan rezeki. Ketika rezeki perlu diusahakan dan dicari dengan berbagai usaha, maka demikianlah pula hidayah. Hidayah juga perlu kepada usaha untuk menanggapinya. Allah I berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra'du : 11)
Akhirnya, kita senantiasa memohon hidayah kepada Allah untuk selalu berada pada jalan yang lurus, sehingga kematian mendatangi kita dalam keadaan Islam. Wallahul muwaffiq. (***)

Sumber : Majalah Sakinah Vol. 10, No. 8


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Beliau adalah Imam yang mulia Abul Fida' 'Imaduddin Isma'il bin 'Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi yang berasal dari kota Bashrah, kemudian menetap, belajar dan mengajar di Damaskus.
Dilahirkan di Mijdal, sebuah tempat di kota Bashrah pada tahun 701 H (1302 M).
Ayah beliau adalah seorang khatib di kota itu. Ayahnya meninggal ketika beliau baru berusia empat tahun. Kemudian beliau diasuh oleh kakaknya, Syaikh 'Abdul Wahhab dan dialah yang mendidik beliau di usia dininya. Kemudian beliau pindah ke Damaskus, negeri Syam yang dijaga pada tahun 706 H, ketika beliau berusia lima tahun.

GURU-GURU BELIAU
Beliau belajar kepada Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin 'Abdirrahman al-Fazari yang terkenal dengan nama Ibnul Farkah yang wafat pada tahun 729 H. Di Damaskus, beliau pun belajar kepada 'Isa bin al-Muth'im, Ahmad bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Ibnusy Syahnah yang wafat pada tahun 730 H, Ibnu Hajjar yang wafat pada tahun 730 H, Baha-uddin al-Qasim bin Muzhaffar Ibnu 'Asakir, muhaddits negeri Syam yang wafat pada tahun 723 H, Ibnu asy-Syirazi, Ishaq bin Yahya al-Amidi 'Afifuddin-ulama Zhahiriyyah- yang wafat pada tahun 725 H, Muhammad Ibnu Zarrad, menyertai Syaikh Jamaluddin Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi yang wafat pada tahun 742 H, beliau mendapat banyak faedah dan menimba ilmu darinya dan akhirnya beliau menikahi puterinya. Beliau juga belajar dari Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin 'Abdil Halim bin 'Abdis Salam bin Taimiyyah yang wafat pada tahun 728 H, sebagaimana beliau menimba ilmu dari Syaikh al-Hafizh, seorang ahli tarikh (sejarah), Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin 'Utsman bin Qayimaz adz-Dzahabi yang wafat pada tahun 748 H. Dan ulama Mesir yang memberi beliau ijazah adalah Abu Musa al-Qarafi, Abul Fat-h ad-Dabbusi, 'Ali bin 'Umar as-Sawani dan lain-lain.
Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata tentang al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Mu'jam al-Mukhtashsh : “Beliau adalah seorang imam lagi pemberi fatwa, muhaddits yang pakar,, faqih (ahli fiqih) yang berwawasan luas, mufassir (ahli tafsir) dan memiliki banyak tulisan yang bermanfaat.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata dalam ad-Durar al-Kaaminah : “Beliau selalu menyibukkan diri dengan hadits, menelaah matan dan rijal hadits. Beliau adalah orang yang memiliki hafalan yang banyak, kecerdasannya bagus, memiliki banyak karya tulis semasa hidupnya dan telah memberikan manfaat yang sangat banyak kepada orang-orang ssepeninggal beliau.”
Ahli sejarah yang terkenal dengan nama Abdul Mahasin Jamaluddin Yusuf Ibnu Saifuddin yang terkenal dengan nama Ibnu Taghri Bardi berkata dalam kitabnya al-Manhalush Shaafii wal Mustaufa ba'dal Waafi), “Beliau adalah asy-Syaikh al-Imam al-'Allamah 'Imaduddin Abul Fida', ulama yang banyak berkarya, terus bekerja, meraup ilmu dan menulis, pakar dalam bidang fiqih, tafsir dan hadits. Beliau mengumpulkan, mengarang, mengajar, menyampaikan hadits dan menulis. Beliau memiliki penelaahan yang luas dalam ilmu hadits, tafsir, fiqih, bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau mengeluarkan fatwa dan mengajar hingga beliau wafat, semoga Allah merahmati beliau. Beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki hafalan yang kuat dan tulisan yang bagus. Ia telah mencapai puncak dalam ilmu sejarah, hadits dan tafsir.

MURID-MURID BELIAU
Murid-murid beliau sangatlah banyak, diantaranya adalah Ibnu Haji. Disebutkan tentangnya bahwa ia adalah seorang yang memiliki hafalan paling kuat terhadap matan-matan hadits yang pernah kami dapati. Paling tahu tentang cacat-cacat hadits, perawi-perawinya, shahih dan dha'ifnya, dan rekan-rekan serta guru-gurunya mengakui hal tersebut. Sejauh ini, setiap kali saya bertemu dengannya pasti saya memperoleh faedah darinya.
Ibnu 'Imad al-Hanbali berkata dalam kitabnya yang berjudul Syadzaraatudz Dzahab fii Akhbaari Man Dzahab : “Beliau adalah al-Hafizh al-Kabir 'Imaduddin, haalannya banyak dan jarang lupa, pemahamannya baik, ilmu bahasa Arabnya tinggi.” Ibnu Habib berkata tentangnya, “Ia mendengar riwayat, mengumpulkan, menulis, mengeluarkan fatwa, menyampaikan hadits, memberi banyak faedah, dan lembaran-lembaran fatwanya tersebar ke berbagai negeri. Ia dikenal dengan kekuatan hafalan dan keelokan karangannya.”


TULISAN-TULISAN BELIAU
Tulisan beliau sangatlah banyak, diantaranya :
  1. Termasuk tulisan beliau yang terbesar adalah kitab tafsir al-Qur-an. Kitab ini adalah sebaik-baik kitab tafsir dengan riwayat, telah diterbitkan berulang kali dan telah diringkas oleh banyak ulama.
  2. Kitab sejarah yang dinamakan al-Bidaayah, terdiri dari 14 jilid, dengan judul al-Bidaayah wan Nihaayah. Di dalamnya disebutkan tentang kisah-kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, sirah Nabawiyyah, sejarah Islam hinggga zamannya, ditambah dengan pembahasan tetnang fitnah dan tanda-tanda hari Kiamat serta keadaan pada hari Akhir dan al-Malaahim (pertumpahan darah). Dan telah ditahqiq oleh banyak ulama.
  3. At-Takmiil fii Ma'rifatits Tsiqaat wadh Dhu'afaa' wal Majaahil. Di dalamnya terangkum dua kitab dari tulisan guru beliau, yaitu al-Mizzi dan adz-Dzahabi (Tahdziibul Kamaal fii Asmaa-ir Rijaal) dan (Miizaanul I'tidaal fii Naqdir Rijaal) dengan disertai beberapa tambahan yang bermanfaat dalam masalah al-jarh wat ta'diil.
  4. Al-Hadyu was Sunan fii Ahaadiitsil Masaaniid was Sunan yang dikenal dengan nama (Jaami' al-Masaaniid). Di dalamnya terangkum Musnad al -Imam Ahmad bin Hanbal, al-Bazzar, Abu Ya'la al-Mushili, Ibnu Abi Syaibah, beserta Kutubus Sittah, yaitu Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim serta kitab Sunan yang empat. Beliau menyusunnya berdasarkan bab-bab fiqih, dan baru-baru ini telah dicetak beberapa juz darinya.
  5. Thabaqaat asy-Syafi'iyyah dengan ukuran sedang disertai biografi Imam asy-Syafi'i.
  6. Beliau mentakhrij hadits-hadits yang digunakan sebagai dalil dalam kitab at-Tanbiih fii Fiqh asy-Syafi'iyyah.
  7. Beliau memulai penulisan syarah Shahiih al-Bukhari dan belum sempat menyelesaikannya.
  8. Beliau memulai penulisan kitab besar dalam masalah-masalah hukum namun belum sempat menyelesaikannya, dan tulisan beliau ini sudah sampai pada kitab Haji.
  9. Ringkasan kitab al-Madkhal, karya al-Baihaqi dan sebagian besar belum diterbitkan.
  10. Beliau meringkas kitab 'Uluumul Hadiits karya Abu 'Amr bin ash-Shalah, yang beliau beri judul (Mukhtashar 'Uluumil Hadiits) yang dicetak oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, seorang ahli hadits dari Mesir disertai penjelasan dari beliau dan diberi judul al-Baa'itsul Hatsiits fii Syarh Mukhtashar 'Uluumil Hadiits, dan telah dicetak beberapa kali.
  11. As-Siirah an-Nabawiyyah yang panjang (bagian dari kitab al-Bidaayah) dan ringkasannya, keduanya diterbitkan dalam cetakan yang berbeda.
  12. Risalah dalam masalah jihad yang diberi judul al-Ijtihaad fii Thalabil Jihaad, dan telah dicetak berulang kali.

WAFAT BELIAU
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, “Beliau kehilangan penglihatan di akhir hayatnya dan wafat di Damaskus, negeri Syam yang terjaga pada tahun 774 H/1373 M. Semoga Allah mencurahkan rahmat seluas-luasnya kepada beliau dan menempatkan beliau di Surga-Nya yang luas. 

Ditulis oleh Fadhilatusy Syaikh 'Abdul Qadir al-Arna-uth

Sumber: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 halaman 11-15, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ وَمُبَلِّغُ النَّاسِ شَرْعِهِ، مَا تَرَكَ خَيْراً إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ وَلَا شَرّاً إِلَّا حَذَّرَهَا مِنْهُ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. al-Ma-idah: 35)
al-Wasilah secara bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.” Demikian pula Qatadah mengatakan tentang makna ayat tersebut, “Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya.”
Ibadallah,
Tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
Pertama: Tawasul yang disyariatkan. Yaitu tawassul kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan Asma’ dan Sifat-Nya dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui doa orang shalih yang masih hidup.
Kedua: Tawasul yang bid’ah. Yaitu mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara yang tidak disebutkan dalam syariat, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.
Ketiga: Tawasul yang syirik. Yatiu bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdoa kepada mereka, meminta keperluan dan memohon pertolongan kepada mereka.
Tawassul yang yang disyariatkan juga ada 3 macam, yaitu:
Pertama: Tawassul Dengan Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Yaitu seseorang memulai doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengagungkan, membesarkan, memuji, mensucikan Dzat-Nya yang Maha Tinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi kemudian berdoa (memohon) apa yang dia inginkan. Inilah bentuk doa dengan menjadikan pujian dan pengagungan sebagai wasilah kepada-Nya agar Dia mengabulkan doa dan permintaannya sehingga dia pun mendapatkan apa yang dia minta dari Rabb-nya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan Allah memiliki asma-ul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf:180)
Dalil dari al-Hadits tentang tawassul yang disyariatkan ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang yang berucap dalam dalam shalatnya:
اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، اَلْمَنَّانُ، يَا بَدِيْعَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، إِنِّي أَسْأَلُكَ ( الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ )
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Ya Rabb Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan (ke surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقَدْ دَعَا اللهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيْمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ، وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى
“Sungguh dia telah meminta kepada Allah dengan Nama-Nya yang paling agung yang apabila seseorang berdoa dengannya niscaya akan dikabulkan, dan apabila ia meminta akan dipenuhi permintaannya.”(HR. Bukhari dan selainnya).
Juga hadits lain yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ أَصْلِحْ لِى شَأْنِي كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.
“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau serahkan urusanku kepada diriku meskipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. an-Nasa-I dan Hakim).
Kedua: Seorang Muslim Bertawassul Dengan Amal Shalih Yang Dilakukannya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, kami benar-benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari adzab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 16).
Ketiga: Tawassul Kepada Allah ‘Azza wa Jalla Dengan Doa Orang Shalih Yang Masih Hidup.
Jika seorang muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur-an serta as-Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar mendoakan dirinya kepada Allah supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan, seperti:
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan kepada Allah ‘Azza wa Jalla melalui ‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib radhiyallahu anhu, lalu berkata, “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” Ia (Anas bin Malik) berkata, “Lalu mereka pun diberi hujan.”(HR. Bukhari dan selainnya).
Seorang Mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya seperti ucapannya, “Berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan keselamatan bagiku atau memenuhi keperluanku.” Dan yang serupa dengan itu. Sebagaimana juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada seluruh ummatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada beliau setelah adzan atau memohon kepada Allah agar beliau diberikan wasilah, keutamaan dan kedudukan yang terpuji yang telah dijanjikan oleh-Nya.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.
“Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat di Surga) kepada Allah untukku karena ia adalah kedudukan di dalam Surga yang tidak layak bagi seseorang kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan aku berharap akulah hamba tersebut. Maka, barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka dihalalkan syafaatku baginya.(HR. Muslim).
Doa yang dimaksud adalah doa sesudah adzan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ
“Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang akan didirikan. Berilah al-wasilah (kedudukan di Surga) dan keutamaan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bangkitkanlah beliau sehingga dapat menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan.” (HR. Bukhari).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Suka atau tidak, sebuah realita yang terjadi pada umat ini adalah adanya bid’ah di tengah-tengah mereka. Suatu amalan baru yang menyerupai syariat akan tetapi sejatinya tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Tawassul yang bid’ah ini ada beberapa macam, di antaranya:
  1. Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kedudukan orang selainnya.
  2. Tawassul dengan dzat makhluk.
Jika dimaksudkan: seseorang bersumpah dengan makhluk dalam meminta kepada Allah, maka tawassul ini—seperti bersumpah dengan makhluk—tidak dibolehkan, sebab sumpah makhluk terhadap makhluk tidak dibolehkan, bahkan termasuk syirik, sebagaimana disebutkan di dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” (HR. Tirmidzi).
Apalagi bersumpah dengan makhluk kepada Allah, maka Allah tidak menjadikan permohonan kepada makhluk sebagai sebab terkabulnya doa dan Dia tidak mensyariatkannya.
  1. Tawassul dengan hak makhluk.
Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan:
Pertama, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justru sebaliknya, Allah-lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya :
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“… Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman.” (QS. ar-Rum: 47).
Orang yang taat berhak mendapatkan balasan (kebaikan) dari Allah karena anugerah dan nikmat, bukan karena balasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.
Kedua, hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut dan tidak ada kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara asing yang tidak ada kaitannya antara dirinya dengan hal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya sama sekali.
Demikian kaum muslimin, khotib sampaikan pada khotbah yang pertama ini tentang dua bentuk tawassul. Tawassul yang disunnahkan dan tawassul yang menyerupai syariat akan tetapi bukan bagian dari syariat. Mudah-mudahan Allah menuntun kita untuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah dan dalam tindak-tanduk di kehidupan kita .
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرِ لَهُ عَلَى مَنِّهِ وَجُوْدِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ تَعْظِيْماً لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ؛ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ.
أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى .
Ibadallah,
Pada khotbah pertama telah khotib jelaskan bentuk tawassul yang terlarang meskipun ia masih mirip dengan bentuk ibadah. Adalah lagi bentuk tawassul yang merupakan ibadah yang utama ini, namun dicampuri kesyirikan. Inilah yang dinamakan dengan tawassul yang syirik.
Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai tempat ditujukannya ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.” (QS. az-Zumar: 3).
Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayit sudah tidak bias lagi berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu dan para Shahabat yang bersama mereka, juga para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertawassul, dan meminta syafa’at kepada orang yang masih hidup, seperti kepada al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, meminta syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di kuburan beliau atau pun di kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti (dengan orang yang masih hidup).
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata, ‘Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, sehingga Engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan kepada kami.’ Ia (Anas) berkata: ‘Lalu Allah menurunkan hujan.’
Mereka menjadikan al-‘Abbas radhiyallahu anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan yang disyariatkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawassul melalui beliau, jika memang hal itu dibolehkan. Dan mereka (para Sahabat) meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, baik meminta doa maupun syafa’at kepada mereka. Seandainya meminta doa atau syafa’at, baik kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu mereka tidak berpaling dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“Dan tidak (pula) sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).
Setelah kita mengetahui bentuk-bentuk tawassul ini, di antara kita mungkin akan mendapati ternyata bentuk-bentuk tawassul yang dilarang itu terjadi di sekitar kita. Maka wajib bagi kita memperingatkan keluarga, saudara, teman, dan masyarakat secara umum tentang bentuk yang dilarang ini.
Dan bagi kita yang belum mengetahui bentuk tawassul yang diperbolehkan, maka ia bisa memanfaatkan syariat yang Allah tuntunkan ini dalam memanjatkan doa kepada-Nya. Mudah-mudahan hal itu menjadi penyebab diterimanya dan dikabulkannya doa-doa kita.
عِبَادَ اللهِ: وَ صَلُّوْا وَسَلِّمُوْا -رَعَاكُمُ اللهُ- عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:56] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)).
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ .وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ. اَللَّهُمَّ احْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ وَأَعِنْهُ عَلَى طَاعَتِكَ وَارْزُقْهُ البِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَّاصِحَةَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.
للَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوْبَ المُذْنِبِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَتُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَارْحَمْ مَوْتَانَا وَمَوْتَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَاشْفِ مَرْضَانَا وَمَرْضَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ فَرِجّْ هُمُ المَهْمُوْمِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَفَرِّجْ كَرْبَ المَكْرُوْبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ عَنِ المَدِيْنِيْنَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ أَنْتَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيْلِ. { رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ }.{ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ }.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ،  وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ .

(Didaptasi dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M).

Sumber: www.KhotbahJumat.com



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Mutiara Salaf

"Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan baik generasi awalnya"

-Imam Malik-

Info Kajian

Pada Hari Ahad

Jam 8.30 pagi.
pekan ke-2 dan ke-4 setiap bulan
Kajian Umum Kitab : "Shahih Fiqih Sunnah"
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim
di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Abu Mundzir Al-Ghifary hafidzahullah
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Jauhari (085384960382)

Pada Hari Ahad

Jam 9.00 pagi.
pekan ke-1 setiap bulan
Kajian Umum Kitab : "al-Firqotun Najiyah"
karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Misbah hafidzahullah
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Ahmad Sholihin (081391834830)

Pada Hari Sabtu

Jam 18.15 (Ba'da Maghrib)
pekan ke-2 dan ke-4 setiap bulan
Kajian Umum Kitab : "Tafsir Juz 'Amma"
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Zakariya Syaiful Fuad
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Ahmad Sholihin (081391834830)

Pada Hari Jum'at, Sabtu, Ahad

Jam 18.15 (Ba'da Maghrib)
Kajian Umum Kitab : "Pelajaran Cara Cepat Menguasai Bahasa Arab"
“Kunci Sukses Belajar Nahwu & Shorof Untuk Pemula”yang disusun oleh Al Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali A.M.

di Masjid Ma'had IMAM SYAFI'I BLORA
Bersama Al Ust. Abu Kholid Iqbal Al Farisi
Info:
Bp. Lasmito (085325307818)
Bp. Zakariya (081226810066)

Video Tausiyah

Radio Sunnah


Banyak Dibaca

Video: Aku Akan Berubah

Jadwal Sholat

Pengunjung

Flag Counter

KALENDER

Diberdayakan oleh Blogger.